Pada Jumat 30 April 2010, sebuah
meteorit jatuh di Kawasan Duren Sawit,
Jakarta Timur. Terdengar ledakan dahsyat, saat pecahan
asteroid yang
lolos dari perisai Bumi itu menimpa rumah milik Sudarmojo di Jalan
Delima VI Gang 2. Hingga rusak parah.
Sebelumnya, sebuah
meteorit berukuran 10 meter, berkekuatan setara 50.000 ton bahan peledak
TNT -- berkali lipat kekuatan bom atom Hiroshima -- meledak di langit
Bone, Sulawesi Selatan. Tepatnya pada 8 Oktober 2009. Asteroid itu
adalah yang terbesar yang
nyelonong masuk Bumi dalam satu dekade. Bahkan seperti dimuat
Space.com, fenomena ini masuk di antara sembilan sejarah astronomi penting dunia yang terjadi pada 2009.
Dua
fenomena itu cukup menjadi bukti rentannya Indonesia terhadap jatuhnya
benda-benda langit. Itu belum termasuk struktur batu yang mengepung Kota
Majalengka yang diduga hasil tumbukan meteorit.
Baru-baru ini,
hasil kajian University of Southampton menempatkan Indonesia dalam
daftar 10 negara paling berisiko terkena dampak tubrukan asteroid.
Sembilan lainnya adalah, China, India, Jepang, Amerika Serikat,
Filipina, Italia, Inggris, Brazil, dan Nigeria. Salah satu alasan,
populasi penduduk di Indonesia berpotensi berkurang drastis jika terjadi
tubrukan asteroid.
Menanggapi hasil penelitian itu, Profesor
riset astronomi-astrofisika LAPAN, Thomas Djamaluddin mengatakan, hasil
model dampak tumbukan asteroid seperti yang dihasilkan University
Southamton harus dipahami secara cermat. "Pada prinsipnya semua negara
berpotensi sama dalam hal kemungkinan kejatuhan asteroid," kata dia
kepada
VIVAnews.com, Kamis 30 Juni 2011.
Bedanya,
dampak dari peristiwa itu tergantung dari kondisi masing-masing negara.
"Antara lain, geografis dan sebaran penduduk," tambah Deputi Sains,
Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN itu.
Bagaimana
dengan Indonesia? "Indonesia dan negara-negara pantai sangat rentan
terhadap tsunami dampak dari tumbukan tersebut," kata Thomas.
LAPAN
sebagai lembaga antariksa, tambah dia, tak ketinggalan memantau potensi
tumbukan asteroid di Indonesia, dengan memanfaatkan data internasional.
"Hanya sedikit negara yang membangun sendiri sistem pemantau asteroid
karena sangat mahal biaya alat dan operasionalnya," kata Thhomas.
'Sementara kemanfaatannya lebih bersifat global."..
nasional.vivanews.com